Oleh : M. Fakhrurrazzy Syam-Diskominfo
Mohammad Hatta atau sering disebut Bung Hatta tercatat dengan tinta emas di lembar sejarah negara Indonesia. Ia adalah salah satu Bapak Pendiri Bangsa. Bersama Soekarno, ia diberi gelar Proklamator.
Penghormatan tertinggi bangsa Indonesia atas jasa-jasa besar keduanya memperjuangkan dan memproklamirkan Kemerdekaan Indonesia. Dwitunggal Soekarno-Hatta, juga menjabat Presiden dan Wakil Presiden Republik Indonesia di tahun-tahun awal kemerdekaan.
Kebesaran nama Bung Hatta menimbulkan kebanggaan bagi etnis Minangkabau. Bung Hatta memang dilahirkan oleh orangtua berdarah Minangkabau, Syech Muhammad Djamil dan Zuleha. Ia lahir pada tanggal 12 Juli 1902 di Bukittinggi. Bisa dimengerti sosok Bung Hatta pun terhubung erat dengan Kota Bukittinggi. Sejumlah bangunan di Kota Bukittinggi jadi penguat kesan itu.
Di Jalan Soekarno-Hatta, berdiri replika ‘Rumah Kelahiran Bung Hatta’. Sebuah gedung bersejarah, di jantung Kota Bukitinggi tak jauh dari Jam Gadang, diberi nama “Istana Bung Hatta”. Juga ada Taman Monumen Bung Hatta, masih di lingkungan Istana Bung Hatta. Di sana berdiri profil patung Bung Hatta setinggi dengan posisi seakan-akan Bung Hatta sedang menyapa.
Termasuk perpustakaan Mohammad Hatta di komplek Kantor Balai Kota Bukittinggi. Kota ini memang terasosiasi dengan nama Bung Hatta. Meski, ia hanya berdomisili di kota ini hanya di masa kanak-kanak saja. Gairah menuntut ilmu membuatnya merantau ke Padang dan terus ke Batavia.
Lantas jika ditanya, adakah hubungan Bung Hatta dengan Kabupaten Limapuluh Kota. Bisa jadi banyak yang mikir untuk menjawabnya. Atau mencigok dan ngadu ke mesin pencari di jaringan internet. Ironisnya, sebagian warga Limapuluh Kota pun tak mampu untuk menjelaskan hal ini. Padahal, figur Bung Hatta yang sangat religius jejaknya berawal dari Batu Hampar, Limapuluh Kota.
Ayah Bung Hatta, Syech Muhammad Djamil merupakan anak dari Syech Abdurrahman salah satu ulama besar Minangkabau. Syech Abdurrahman, kakek kandung Bung Hatta berpulang pada tahun 1899, tiga tahun sebelum Bung Hatta lahir. Syech Abdurrahman adalah penggagas sentra pendidikan Islam ala Surau di Batuhampar. KKomplekspendidikan Islam Surau Batu Hampar masih eksis sampai sekarang.
Komplek juga itu disebut pula dengan surau Buya Amran atau surau Al Manaar karena berlokasi di tengah pondok pesantren Al Manaar, Batu Hampar, Kecamatan Akabiluru, Kabupaten Limapuluh Kota, Sumatera Barat. Surau Batu Hampar berjarak 10 Km sebelah Barat Kota Payakumbuh. Darimana Hatta kecil memperoleh gambaran sang kakek yang kharismatik, ayah kandungnya dan Batu Hampar. Kisah kakeknya diterima Bung Hatta dari paman dari pihak ayah bernama Syekh Arsyad. Bung Hatta sendiri juga tak sempat mengenal ayahnya Syech Muhammad Djamil yang meninggal dunia saat Bung Hatta berusia 8 bulan.
Tak bertemu dengan kakeknya dan tak sempat mengenal ayahnya, membuat Bung Hatta menjadi kesayangan Syekh Arsyad sejak kecil. Di nukil dari Biografinya “Memoir” (1979) Bung Hatta menulis, keluarga ibunya Saleha di Bukittinggi terus menjaga hubungan baik dengan keluarga ayahnya. “Kontakku dengan keluarga ayahku di Batuhampar bermula sesudah aku berumur 7 tahun.
Sekurang-kurangnya dua kali setahun aku dibawa berziarah ke Batuhampar dan selalu aku ditempatkan pada lingkungan ayah gaekku Arsad. Beliau sangat sayang padaku,” tulis Bung Hatta. Lebih lanjut tulis Bung Hatta,“Aku tak pernah berjumpa dengan Datukku, sebab sebelum aku lahir beliau sudah berpulang ke Rahmatullah. Beliau digantikan oleh anak (laki-laki) tertua Haji Arsad sebagai Syekh Batuhampar.” Di bukunya, Bung Hatta menggambarkan kebesaran kakeknya dan idealisme kakeknya dengan pusat pendidikan Islam Surau Batu Hampa.
Menurut Bung Hatta, murid-murid kakeknya bukan saja datang dari Pulau Sumatra, tetapi juga dari Kalimantan dan Semenanjung Malaka. Tentang idealisme sang kakek, kata Bung Hatta,”Beliau bukan saja seorang guru agama yang besar pengaruhnya, tetapi juga seorang ahli Tarikat Islam. Ia bercita-cita menjadikan Batuhampar sebagai benteng pertahanan agama Islam, karena penyerbuan bangsa kulit putih ke Minangkabau sudah mendesak umat Islam ke pinggir,” tulis Hatta.
Terjawab sudah keterkaitan Bung Hatta dengan Limapuluh Kota khususnya Batu Hampar. Hubungan yang tak sembarangan rupanya. Bung Hatta ber-tambo, bertali darah dengan garis keturunan ulama besar Minangkabau. Inilah agaknya penjelas tentang representasi sosok Bung Hatta dalam khazanah tokoh besar di Indonesia. Bung Hatta kental sisi religiusnya terrefleksi dalam sikap jujur, santun, bersahaja dan gigih berjuang melepaskan bangsa dari belenggu imperialime.
Pada dirinya tercermin muslim yang menghayati dan mengamalkan ajaran Islam. Bung Hatta, melakukannya baik sebagai pejabat publik maupun warga biasa. Tanpa banyak retorika, melainkan tindakan nyata. Di hari-hari ini, saat kemajuan teknologi begitu pesat, banyak yang mengkhawatirkan kemerosotan moral, prilaku koruptif, melebarnya jarak antara elit dan warga atau tak satu kata dengan tindakan, bangsa Indonesia kembali merindukan Bung Hatta.
Rindu tentang seorang Wakil Presiden yang mesti menabung untuk membeli sepatu yang ia idamkan, sesuatu yang mudah diperoleh karena jabatannya. Ia tak mau. Tabungannya ternyata tak pernah cukup, alhasil sampai akhirnya hayatnya sepatu idamannya tak juga terbeli.
Jika memang terkoneksi dengan Limapuluh Kota, muncul pertanyaan adakah penandanya di Limapuluh Kota seperti halnya di Kota Bukittinggi? Tentu ini selain, Komplek Perguruan Al Manaar yang didirikan kakeknya Syech Abdurrahman lebih se-abad lalu di Batu Hampar. Ternyata jawaban sudah dirancang sejak tahun 2015 lalu, ketika putri sulung Bung Hatta Meutia Farida Hatta meletakkan batu pertama pembangunan Mesjid Mohammad Hatta di ruas Jalan Negara di Ketinggian, Sarilamak, Harau, Kabupaen Limapuluh Kota. Pembangunan mesjid ini muncul dari ide jenius Keluarga Besar Prof. Dr. Aziz Haily setelah berkaca pada profil Bung Hatta yang religius.
Selanjutnya, melalui Yayasan Aziz Haily, direncanakan pembagunan Mesjid Mohammad Hata pada tanah waqaf dengan total lahan seluas 1,2 hektar. Tujuh tahun berlalu, kemajuan pembangunan Mesjid Mohammad boleh dibilang jauh dari kata rampung, kendati demikian mesjid telah aktif digunakan untuk beribadah semenjak April 2021 silam.
Di masa depan, mesjid dengan nama Proklamator Kemerdekaan RI, di proyeksikan jadi pusat dakwah serta landmark ibukota Kabupaten Limapuluh Kota, Kota Sarilamak. Progresnya memang terasa beringsut jalannya tapi semangat Yayasan Waqaf Aziz Haily tak pernah pudur.
Energi baru muncul di momentum 120 tahun kelahiran Bung Hatta. Tiga putri Proklamator Bung Hatta, Meutia Farida Hatta, Gemala Rabi’ah Hatta, Halida Nuriah Hatta disertai menantu Guru Besar Fakultas Ekonomi UI Prof.Dr. Sri-Edi Swasono meninjau langsung progres pembangunan Mesjid Mohammad Hata di Ketinggian, Sarilamak, Harau pada Jum’at sore (12/08/2022).
Kedatangan Keluarga Besar Bung Hatta disambut oleh Bupati Limapuluh Kota Safaruddin Datuk Bandaro Rajo dan Wakil Bupati Limapuluh Kota 2016-2021 Ferizal Ridwan, Ketua Yayasan Waqaf Aziz Haily, Keluarga Besar Aziz Haily serta sejumlah pejabat Pemerintah Kabupaten Limapuluh Kota.
“Walaupun baru rampung 30%, kita bangga dengan semangat pantang menyerah Yayasan Waqaf Aziz Haily sekaligus haru menyelimuti saya bersama keluarga besar saat melaksanakan ibadah di masjid ini”, ungkap Sri Edi.
Ia berharap panitia pembanguna bisa mewujudkan mesjid yang dicita-citakan jadi tempat ibadah dan syi,ar Islam bagi warga sekitar umumnya warga Limapuluh Kota.
“Masjid ini agar jadi tempat berbagai aktivitas, tak semata tempat ibadah, banyak hal sosial kemasyarakatan yang bisa kita lakukan dilaksanakan di mesjid ini nantinya,” ujar Sri Edi-Swasono.
Bupati Safaruddin menyampaikan respeknya atas kedatangan Keluarga Besar Proklamator Bung Hatta untuk meninjau langsung progres pembangunan Mesjid Mohammad Hata. Membangun mesjid, kata Bupati Safaruddin, merupakan amalan yang tinggi nilai pahalanya. Sadar bahwa mesjid ini menyandang nama Proklamator Bangsa, yang leluhurnya berasal dari bumi Luak Limopuluah, ia mengajak semua pihak menyingsingkan lengan untuk menyelesaikan pembangunan mesjid ini.
“Pemerintah daerah akan memperhatikan dan membantu pembangunan mesjid, termasuk juga masyarakat dan perantau untuk mewujudkan ide besar almarhum Prof.Aziz Haily, mantan Bupati Limapuluh Kota, mendirikan Mesjid Mohammad Hatta. Sebelumnya, Ketua Yayasan Wakaf Aziz Haily, Medtry mengungkapkan jika cita-cita pembangunan Mesjid Mohammad Hatta terwujud, akan berdampak ganda.
Mesjid yang representatif di Ibukota Kabupaten dengan nama Mohammad Hatta akan menjadi daya tarik tersendiri bagi pengguna jalan untuk beribadah di sana dan ini tentu akan menggerakkan perekonomian masyarakat sekitar mesjid,” papar Medtry. Ya, mesjid inilah pengukuh hubungan Sang Proklamator dengan warga Limapuluh Kota nantinya. (*)